BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Manusia dalam perannya sebagai masyarakat terdiri dari
bermacam-macam kelompok dan memiliki beberapa ciri-ciri pembeda, yakni jenis
kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, warna kulit,
tinggi badan, pendapatan atau pendidikan. Hal tersebut mau tidak mau selalu
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu
adalah ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis mengatakan dalam semua
masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam
dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah
dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam
kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan:
sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau
tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa
ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota
masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan stratifikasi sosial.
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat
fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di
kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi daripada status sebelumnya.
Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya
dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh
yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana
mobilitas sosial dimungkinkan.
Suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup manakala
setiap anggota masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya,
sedangkan dinamakan terbuka karena setiap anggota masyarakat menduduki status
berbeda dengan orang tuanya, bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Mobilitas
Sosial yang disebut tadi berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial.
Banyak sebab yang dapat memungkinkan individu atau kelompok berpindah status,
pendidikan dan pekerjaan misalnya adalah salah satu faktor yang mungkin dapat
meyebabkan perpindahan status ini.
Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak
jaman perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan
menyeluruh telah memperlihatkan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan
hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan
perbedaan status secara horizontal maupun vertical. Hal ini telah menarik para
perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk
juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata
juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status
yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses kesegala macam hak-hak istimewa
dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari
rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya,
mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari
ketidaksamaan di dalam masyarakat. Berbagai macam argumentasi pun diajukan guna
menjelaskan ketidaksamaan ini yang kemudian berubah menjadi ketidakadilan.
Hal tersebut mengilhami kami sebagai penulis untuk
mengangkat tema stratifikasi sosial yang terjadi di masyarakat dewasa ini.
1. 2 Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari stratifikasi sosial (pelapisan masyarakat)?
2.
Apa saja
bentuk stratifikasi sosial itu?
3.
Apa
faktor-faktor pembentuk stratifikasi sosial?
4.
Bagaimana
kaitan antara stratifikasi sosial dengan interaksi sosial?
5.
Bagaimana
dampak dari adanya stratifikasi sosial?
1. 3 Tujuan Masalah
1 . Untuk mengetahui pengertian dari
stratifikasi sosial (pelapisan masyarakat).
2 . Untuk mengetahui apa saja bentuk stratifikasi sosial.
3 . Untuk mengetahui faktor-faktor
pembentuk stratifikasi sosial.
4 . Untuk mengetahui kaitan antara
stratifikasi sosial dengan interaksi sosial.
5 . Untuk mengetahui dampak dari adanya
stratifikasi sosial.
BAB II
ISI PEMBAHASAN
1.Pengertian Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal
dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti
berlapis-lapis. Dalam sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai
pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat.
Beberapa definisi stratifikasi sosial adalah Sebagai
berikut:
a. Pitirim A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sosial
Sebago perbedaan penduduk atau masyarak kedalam kelas-kelas yang tersusun
secara bertingkat (hierarki).
b. Max Weber mendefinisikan stratifikasi sosial
Sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial
tertentu kedalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan,
previllege, Dan prestise.
c.
Cuber mendefinisikan stratifikasi sosial
Sebagai suatu pola yang di tempatkan diatas kategori dari hak-hak yang berbeda.
Sejak lahir seseorang memperoleh
sejumlah status tanpa memandang perbedaan antar individu atau kemampuan. Berdasarkan
status yang diperoleh dengan sendirinya itu, anggota masyarakat dibeda-bedakan
berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan dalam
kelompok tertentu, seperti kasta, dan kelas.
Bentuk-bentuk stratifikasi sosial
(lapisan) masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut
tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan lain
sebagainya. Lapisan masyarakat tadi, mulai ada sejak manusia mengenal adanya
kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial. Lapisan masyarakat
mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbendaan antara pemimpin dengan
yang dipimpin. Golongan buangan/budak dengan golongan dan bukan buangan/budak,
pembagian kerja dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin
rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem
lapisan masyarakat.
Pada masyarakat-masyarakat kecil dan
bersahaja, biasanya pembedaan kedudukan dan peranan bersifat minim, karena
warganya sedikit dan orang-orang yang dianggap tinggi kedudukanya juga tak
banyak baik macam maupun jumlahnya. Di dalam masyarakat yang sudah kompleks,
pembedaan kedudukan dan peranan juga bersifat kompleks karena banyaknya orang
dan aneka warna ukuran yang dapat diterapkan padanya.
Bentuk –bentuk konkrit lapisan
masyarakat tersebut banyak. Akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut
dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam yaitu yang ekonomis, politis, dan
yang didasarkan kepada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.
2. Bentuk-Bentuk Stratifikasi Sosial
Terbentuknya stratifikasi sosial dalam masyarakat dikarenakan adanya
sesuatu yang dihargai dan dianggap bernilai. Pada dasarnya sesuatu yang
dihargai selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Keadaan
ini menjadikan bentuk-bentuk stratifikasi sosial semakin beragam. Selain itu,
semakin kompleksnya kehidupan masyarakat semakin kompleks pula bentuk-bentuk
stratifikasi yang ada. Secara garis besar bentuk-bentuk stratifikasi sosial
sebagai berikut.
a.
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Ekonomi
Dalam stratifikasi ini dikenal dengan sebutan kelas sosial. Kelas sosial
dalam ekonomi didasarkan pada jumlah pemilikan kekayaan atau penghasilan.
Secara umum klasifikasi kelas sosial terdiri atas tiga kelompok sebagai
berikut.
1) Kelas
sosial atas, yaitu kelompok orang memiliki kekayaan banyak, yang dapat memenuhi
segala kebutuhan hidup bahkan secara berlebihan. Golongan kelas ini dapat
dilihat dari pakaian yang dikenakan, bentuk rumah, gaya hidup yang dijalankan,
dan lain-lain.
2) Kelas
sosial menengah, yaitu kelompok orang berkecukupan yang sudah dapat memenuhi
kebutuhan pokok (primer), misalnya sandang, pangan, dan papan. Keadaan golongan
kelas ini secara umum tidak akan sama dengan keadaan kelas atas.
3) Kelas
sosial bawah, yaitu kelompok orang miskin yang masih belum dapat memenuhi
kebutuhan primer. Golongan kelas bawah biasanya terdiri atas pengangguran,
buruh kecil, dan buruh tani.
b.
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Sosial
Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria sosial adalah pembedaan anggota
masyarakat ke dalam kelompok tingkatan sosial berdasarkan status sosialnya.
Oleh karena itu, anggota masyarakat yang memiliki kedudukan sosial yang
terhormat menempati kelompok lapisan tertinggi. Sebaliknya, anggota masyarakat
yang tidak memiliki kedudukan sosial akan menempati pada lapisan lebih rendah.
Contoh: seorang tokoh agama atau tokoh masyarakat akan menempati posisi tinggi
dalam pelapisan sosial.
c.
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Politik
Apabila kita berbicara mengenai politik, maka pembicaraan kita berhubungan
erat dengan sistem pemerintahan. Dalam stratifikasi sosial, media politik dapat
dijadikan salah satu kriteria penggolongan. Orang-orang yang menduduki jabatan
di dunia politik atau pemerintahan akan menempati strata tinggi. Mereka
dihormati, disegani, bahkan disanjung-sanjung oleh warga masyarakat.
Orang-orang yang menduduki jabatan di pemerintahan dianggap memiliki kelas yang
lebih tinggi dibandingkan warga biasa. Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria
politik menjadikan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok
lapisan atas yaitu elite kekuasaan disebut juga kelompok dominan (menguasai)
sedangkan kelompok lapisan bawah, yaitu orang atau kelompok masyarakat yang
dikuasai disebut massa atau kelompok terdominasi (terkuasai).
d.
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat dijadikan sebagai dasar
pembedaan dalam masyarakat. Seseorang yang bekerja di kantor dianggap lebih
tinggi statusnya daripada bekerja kasar, walaupun mereka mempunyai gaji yang
sama. Adapun penggolongan masyarakat didasarkan pada mata pencaharian atau
pekerjaan sebagai berikut.
1) Elite
yaitu orang kaya dan orang yang menempati kedudukan atau pekerjaan yang dinilai
tinggi oleh masyarakat.
2)
Profesional yaitu orang yang berijazah dan bergelar kesarjanaan serta orang
dari dunia perdagangan yang berhasil.
3)
Semiprofesional mereka adalah para pegawai kantor, pedagang, teknisi
berpendidikan menengah, mereka yang tidak berhasil mencapai gelar, para
pedagang buku, dan sebagainya.
4) Tenaga
terampil mereka adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan teknik mekanik
seperti pemotong rambut, pekerja pabrik, sekretaris, dan stenografer.
5) Tenaga
tidak terdidik, misalnya pembantu rumah tangga dan tukang kebun.
e.
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Pendidikan
Antara kelas sosial dan pendidikan saling memengaruhi. Hal ini dikarenakan
untuk mencapai pendidikan tinggi diperlukan uang yang cukup banyak. Selain itu,
diperlukan juga motivasi, kecerdasan, dan ketekunan. Oleh karena itu, tinggi
dan rendahnya pendidikan akan
berpengaruh pada jenjang kelas sosial.
f.
Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Budaya Suku Bangsa
Pada dasarnya setiap suku bangsa memiliki stratifikasi sosial yang
berbeda-beda. Misalnya pada suku Jawa. Di Jawa terdapat stratifikasi sosial
berdasarkan kepemilikan tanah sebagai berikut.
1) Golongan
wong baku (cikal bakal), yaitu orangorang keturunan para pendiri desa. Mereka
mempunyai hak pakai atas tanah pertanian dan berkewajiban memikul beban anak
keturunan para cikal bakal tersebut. Kewajiban seperti itu disebut dengan gogol
atau sikep.
2) Golongan
kuli gandok (lindung), yaitu orang-orang yang mempunyai rumah sendiri, tetapi
tidak mempunyai hak pakai atas tanah desa.
3) Golongan
mondok emplok, yaitu orang-orang yang mempunyai rumah sendiri pada tanah
pekarangan orang lain.
4) Golongan
rangkepan, yaitu orang-orang yang sudah berumah tangga, tetapi belum mempunyai
rumah dan pekarangan sendiri.
5) Golongan
sinoman, yaitu orang-orang muda yang belum menikah dan masih tinggal
bersama-sama dengan orang tuanya.
Selain itu, stratifikasi sosial pada masyarakat Jawa didasarkan pula atas
pekerjaan atau keturunan, yaitu golongan priayi dan golongan wong cilik.
Golongan priayi adalah orang-orang keturunan bangsawan dan para pegawai
pemerintah serta kaum cendekiawan yang menempati lapisan atas. Sedangkan
golongan wong cilik antara lain para petani, tukang, pedagang kecil, dan buruh
yang menempati lapisan kelas bawah. Pada tahun 1960-an, Clifford Geertz seorang
pakar antropolog Amerika membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok, yaitu
santri, abangan, dan priayi. Menurutnya, kaum santri adalah penganut agama
Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau
menganut Kejawen, sedangkan kaum priayi adalah kaum bangsawan.
3. Faktor-FaktorPembentuk Stratifikasi Sosial
Setiap masyarakat mempunyai sesuatu
yang dihargai, seperti kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian
keanggotaan masayrakat, dan sebagainya. selama manusia membeda-bedakan
penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, akan timbul
lapisan-lapisan dalam masyarakat. semakin banyak kepemilikan, kecakapan
masyarakat/seseorang terhadap sesuau yang dihargai, semakin tinggi kedudukan
atau lapisannya. sebaliknya, mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan
tidak memiliki sama sekali, mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.
Penghargaan terhadap jasa atau
pengabdian seseorang bisa pula menempatkanya pada posisi yang tinggi, misalnya
pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Demikian pula, keahlian dan
keterampilan seseorang dalami pekerjaan tertentu akan membuatnya menduduki
posisi tinggi jika dibandingkan daengan pekerja yang tidak mempunyai
keterampilan apaun.
Adanya sistem lapisan sosial bisa
terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat, tetapi bisa juga
dengan sengaja disusun unutuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan
terbentuknya lapisan masyarakat yang terjadi dengan sendirinya adalah
kepandaian, tingkat umur (yang senior), sifat keaslian keanggotaan kerabat
seorang dari kepala masyarakat, dan mungkin juga harta dalam batas-batas
tetentu. Alasan-alasan yang dipakai pun berlainan bagi tiap-tiap masyarakat.
Pada masyarakat yang hidup dari berburu hewan, alasan utamanya adalah
kepandaian berburu. Adapun pada masyarakat yang telah menetap dan bercocok
tanam, kerabat pembuka tanah (yang dianggap asli) dianggap Sebagai orang –
orang yang menduduki lapisan tinggi. Hal ini Dapat dilihat pada masyarakat
batak, di mana marga tanah, yakni marga yang pertama-tama membuka tanah
dianggap mempunyai kedudukan tinggi. Demikian juga, golongan pembuka tanah di
kalangan orang jawa di desa, dianggap mempunyai kedudukan tinggi, karena mereka
dianggap Sebagai pembuka tanah dan pendiri desa yang bersangkutan. Masyarakat
lainya mengaggap bahwa kerabat kepala masyarakatlah yang mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam masyarakat, misalnya pada masyarakat ngaju di Kalimantan
Selatan.
Secara teoritis, semua manusia dapat
dianggap sederajat. Akan tetapi, kenyataan hidup kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan merupakan gejala universal
yang merupakan bagian sistem sosial setiap masyarakat.
4. Kaitan Interaksi Sosial dan
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial merupakan konsep
yang berkaitan dengan adanya perbedaan dalam masyarakat. Perbedaan itu muncul
akibat adanya ketimpangan distribusi ekonomi, kekuasaan, pendidikan, dan
semacamnya yang terwujud dengan adanya kelas tinggi dan kelas rendah dalai
masyarakat, seperti “kaya-miskin”, “priyayi-wong cilik”, “pejabat – rakyat
biasa”, “kaum ningrat-rakyat jelata”, dan seterusnya. Dengan demikian yang
dimaksud dengan stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat
ke dalam kelas-kelas secara hirarkhis ( Sorokin, 1959:11). Oleh Piktim A.
Sorokin fenomena ini dikatakan sebagai suatu ciri yang tetap dan umum bagi setiap masyarakat yang
hidup teratur (organized).
Bernard Barber dalam social stratification,
strutcture and terms of social mobility in western society (1857), mengemukakan
enam dimensi dari pelapisan sosial. Pertama adalah prestise jabatan atau
jabatan (occupational prestige). Kedua, rangking dalam wewenang dan kekuasaan
(authority and power rangking). Ketiga, pendapatan dan kekayaan (income of
wealth). Keempat, pendidikan atau pengetahuan (educational or knowledge).
Kelima, kesufian/ketaatan beragama atau pimpinan keagamaan (religious or ritual
purity), dan keenam adalah kedudukan dalam kekerabatan atau kedudukan dalam
suku-suku bangsa (kinship and ethnic grup rangkings). Unsur-unsur atau
dimensi-dimensi dari pelapisan sosial tersebut pada dasarnya sulit untuk
dipisahkan secara tegas oleh karena dalam kenyataanya tumpang tindih (akumulatif)
antara satu sama lainya atau bahkan saling berhubungan seperti dikemukakan
diatas.
Unsur baku dalam stratifikasi sosial
adalah kedudukan (social status) yaitu
tempat atau posisi seesorang secara umum dalam masyarakatnya sehingga dengan orang-orang
lain, dalam arti lingkungan pergaulanya, prestisenya, dan hak-hak serta
kewajiban-kewajibannya. Dalam konteks interaksi sosial, kedudukan sosial
memberi bentuk atau pola interaksi sosial .Hal ini dapat dijabarkan Sebagai
berikut: untuk mencapai ketertiban dan
keteraturan dalam masyarakat, maka dalam berinteraksi, seseorang tidak
hanya dituntut kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosial
(norma-norma yang berlaku), tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai
secara objektif perilku kita sendiri dari sudut pandang orang lain. Pertanyaan
umum yang lazim mucul adalah: apakah perilaku atau tindakan kita sudah cukup
pantas diahadapan cdx yang notebene dosen kita atau mertua kita tau bahkan
orang tua kita/ kalau kita biasa berbicara ngiko terhadap teman sendiri,
misalnya, apakah hal itu juga pantas biola kita lakukan terhadap orangtua?
(suyanto, 2006:20).
5.Dampak Stratifikasi
Sosial
Pada dasarnya manusia itu adalah
sama kedudukan dan derajatnya tetapi pada realitasnya lapisan-lapisan masyarakat
adalah seusuatu yang benar-benar ada dan nyata. Perbedaan stratifikasi sosial
memberikan dampak dalam cara menyapa, bahasa dan gaya bicara. Seperti gaya
bicara orang kaya kepada orang miskin, atau orang berkuasa kepada orang bawahan
akan berbeda cara berbicaranya. Begitu pula penyebutan gelar, pangkat atau
jabatan memberikan petunjuk mengenai status seseorang dalam masyarakat.
Kemudian cara berpakaian merupakan salah satu dampak lain dari stratifikasi
sosial.
Akan tetapi selain menimbulkan
dampak tertentu, ternyata stratifikasi sosial juga diperlukan dalam suatu
lingkungan masyarakat. Melalui stratifikasi sosial juga diperlukan dalam suatu
lingkungan masyarakat. Melalui stratifikasi sosial setiap masyarakat harus
menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial
dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya Sebagai akibat
penempatan tersebut. Dengan demikian masyarakat menghadapi dua persoalan,
pertama menempatkan individu-individu tersebut dan kedua mendorong agar mereka
melaksanakan kewajibannya.
Apabila semua kewajiban selalu
sesuai dengan keinginan si individu, dan sesuai pula dengan
kemampuan-kemampuanya dan seterusnya, maka persoalanya tak akan terlalu sulit
untuk dilaksananakan. Tetapi kenyataanya tidaklah demikian. Kedudukan dan
peranan tertentu sering memerlukan kemampuan-kemampuan dan latihan-latihan
tertentu. Pentingnya kedudukan dan peranan tersebut juga tidak selalu sama.
Maka tak akan dapat dihindarkan bahwa masyarakat harus menyediakan beberapa
macam sistem pembalasan jasa Sebagai pendorong agar individu mau melaksanakan
kewajiban-kewajibannya yang ssesuai dengan posisinya dalam masyarakat. Balas
jasa dapat berupa intensif bidang ekonomis, estetis, atau mungkin secara perlambang. Yang paling
penting adalah bahwa individu-individu tersebut mendapat hak-hak, yang
merupakan himpunan kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan atau
untuk tidak berbuat sesuatu. Sering pula dijumpai hak-hak yang secara tidak
langsung berhubungan dengan kedudukan dan peranan seseorang. Akan tetapi
hak-hak tersebut sedikit banyaknya merupakan pendorong bagi si individu.
Hak-hak tersebut di lain pihak juga mendorong individu-individu untuk
memperoleh kedudukan dan peranan tertentu dalam masyarakat.
Dengan demikian maka mau tidak mau
ada sistem lapisan masyarakat. Karena gejala tersebut sekaligus memecahkan
persoalan yang dihadapi masyarakat; yaitu penempatan individu dalam
tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar
melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta perannya. Pengisian
tempat-tempat tersebut merupakan daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai
dengan fungsinya. akan tetapi wujudnya dalam setiap masyarakat juga berlainan.
Karena tergantung pada bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan peranan yang
dianggap terpenting serta memerlukan
kemmapuan dan latihan-latihan maksimal. Tak banyak individu yang dapat memenuhi
persyaratan demikian, bahwa akan mungkin hanya segolongan kecil dalam
masyarakat. Maka oleh sebab itu pada umumnya warga lapisan atas (upper class)
tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan lapisan menengah (middle
Class) dan lapisan bawah (lower Class). (Soekanto, 1992:281)
6.Ukuran Stratifikasi Sosial
Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk lapisan
masyarakat terbagi kepada beberapa kriteria yaitu:
a. Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang
memilki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan
tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil
pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang
dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.
b. Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang
memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan
atasan.
c.
Ukuran
kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
kekayaan dan/atau kekuasaaan. Orang yang paling disegani dan dihormati,
mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada
masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau
mereka yang pernah berjasa.
d. Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan Sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan.
Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat
yang negatif. Karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan
ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaanya. Sudah tentu hal yang demikian memacu
segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal. (Soekanto,
1992:262)
7.Perbedaan Stratifikasi Sosial
Dengan Status Sosial
Status atau kedudukan, yaitu posisi
seseorang di dalam masyarakat yang didasarkan pada hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu. dalam teori sosiologi, unsur-unsur dalam sistem
pelapisan masyarakat adalah status (kedudukan) dan role (peranan). kedua unsur
ini merupakan unsur baku. Dengan demikian status sosial atau kedudukan sosial
merupakan unsur yang membentuk
terciptanya stratifikasi sosial, sedangkan stratifikasi sosial adalah
pelapisan sosial yang disusun oleh satus-status sosial.
8. Tiga Lapisan Sosial Dengan Dasar
Kualitas Pribadi
Dalam masyarakat yang paling
sederhana dan homogen, pembedaan peranan dan status relatif sedikit, sehingga
stratifikasi sosialnya pun sedikit . pelapisan sosial dalam masyarakat ini
umumnya didasarkan pada jenis kelamin senioritas, dan keturunan, yang merupakan
kualitas pribadi seseorang.
a. Jenis Kelamin
Pada sebagian masyarakat indonesia, kedudukan
laki-klaki dinilai lebih tinggi daripada kedudukan wanita. laki-laki yang
menjadi kepala keluarga/rumah tangga dihormati oleh istri dan anak-anak mereka.
b. Senioritas
Senioritas disini dapat berarti senioritas, usia
maupun generasi. orang yang lebih tua memilki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang muda.
c. Keturunan
Keturunan bangsawan dianggap lebih tinggi daripada keturunan rakyat jelata.
9. Kriteria Dasar Penentuan
Stratifikasi Sosial
Kriteria atau ukuran yang umumnya digunakan untuk
mengelompokkan anggota masyarakat kedalam suatu lapisan tertentu adalah Sebagai
berikut.
a. Kekayaan
Kekayaan atau sering juga disebut
ukuran ekonomi. Orang yang memiliki harta benda berlimpah (kaya) akan lebih
dihargai dan dihormati daripada orang yang miskin.
b. Kekuasaan
Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan
atau posisi seseorang dalam masyarakat. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang
besar akan menempati lapisan sosial atas, sebaliknya orang yang tidak mempunyai
kekuasaan berada di lapisan bawah.
c.
keturunan
Ukuran keturunan terlepas dari
ukuran kekayaan atau kekuasaan. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan
berdasarkan golongan kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan akan
menempati lapisan atas seperti gelar Andi di masyarakat Bugis, Raden di
masyarakat jawa, Tengku di masyarakat Aceh.
d. Kepandaian/Penguasaan Ilmu
Pengetahuan
Seseorang yang berpendidikan tinggi
meraih gelar kesarjanaan atau yang memilki keahlian/profesional dipandang
berkedudukan lebih tinggi dibandingkan orang berpendidikan rendah. Status
seseorang juga ditentukan dalam penguasaan pengetahuan lain, misalnya
pengetahuan agama, keterampilan khusus, kesaktian, dan sebagainya.
10. Sifat Sistem Lapisan Masyarakat
Sifat sistem di dalam suatu
masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka
(open social stratification). Sistem lapisan yang bersifat tertutup membatasi
kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik
yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian,
satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah
kelahiran. Sebaliknya di dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat
mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik
lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung jatuh dari lapisan yang atas ke
lapisan di bawahnya. Pada umumnya sistem terbuka ini memberi perangsang yang
lebih besar kepada setiap anggota masyarakat untuk dijadikan landasan
pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup.
Sistem kasta di india telah ada
sejak berabad-abad yang lalu. Istilah untuk kasta dalam bahasaindia adalah yati,
sedangkan sistemnya disebut varna. Menurut kitab Rig-Vedadan
kitab-kitab Brahmana, dalam masyarakat india kuno dijumpai empat varna
yang tersusun dari atas kebawah. Masing-masing adalah kasta brahmana, ksatria,
vaicya, dan sebagai lapisan tertinggi. Ksatria merupakan kasta orang-orang
bangsawan dan tentara dipandang Sebagailapisan kedua. Kasta vaicya merupakan
kasta para pedagang yang dianggap Sebago lapisan menengah (ketiga) dan sudra
adalah kasta orang-orang biasa (rakyat jelata). Mereka yang tak berkasta adalah
golongan paria. Susunan kasta tersebut sangat kompleks dan hingga kini masih
dipertahankan dengan kuat, walaupun orang-orang india sendiri kadangkala tidak
mengakuinya.
sistem kasta semacam di India juga
dijumpai di Amerika Serikat, di mana terdapat pemisahan yang tajam antara
golongan kulit putih dengan golongan kulit hitam. Sistem tersebut dikenal
dengan segregation yang sebenarnya tak berbeda jauh dengan sistem apartheid
yang memisahkan golongan kulit putih dengan golongan asli pribumi di Uni Afrika
Selatan.
Sistem lapisan yang tertutup,
dalambatas-batas tertentu, juga dijumpai pada masyarakat Bali. Menurut
kitab-kitab suci orang Bali, masyarakat terbagi dalamempat lapisan, yaitu
brahmana, satria, vesia, dan sudra. Ketiga lapisan pertama biasa disebut triwangsa,
sedangkan lapisan terakhir disebut jaba yan merupakan lapisan dengan
jumlah warga terbanyak. Keempat lapisan tersebut terbagi lagi dalam
lapisan-lapisan khusus. Biasanya orang-orang mengetahui dari gelar seseorang,
kedalam kasta mana dia tergolong. Gelar-gelar tersebut diwariskan menurut garis
keturunan laki-laki yang sepihak patrilinear seperti ida bagus,
tjokorda, dewa, ngahan, bagus, I gusti, gusti. Gelar pertama adalah gelar orang
brahmana. Gelar kedua sampai keempat bagi orang-orang satria, sedangkan yang
kelima dan keenam berlaku bagi orang-orang vaicya. Orang-orang sudra juga
memakai gelar-gelar seperti pande, kbon, pasek dan selanjutnya. Dahulu kala
gelar tersebut berhubungan erat dengan pekerjaan orang-orang yang bersangkutan.
Walaupun gelar tersebut tidak memisahkan golongan-golongan secara ketat, tetapi
sangat penting bagi sopan santun pergaulan. Di samping ketat, hukum adat juga
menetapkan hak-hak bagi si pemakai gelar, misalnya, dalammemakai tanda-tanda,
perhiasan-perhiasan, pakaian tertentu dan lain-lain. Kehidupan sistem kasta di
Bali umumnya terlihat jelas dalam hubungan perkawinan. Seorang gadis suatu
kasta tertentu umumnya dilarang bersuamikan seseorang dari kasta yang lebih
rendah.
11. Kelas-Kelas Dalam Masyarakat
(Social Classes)
Di dalam uraian tentang teori
lapisan, senantiasa dijumpai istilah kelas (social class). Seperti yang sering
terjadi dengan beberapa istilah lain dalam sosiologi, istilah kelas juga tidak
selalu mempunyai arti yang sama, walaupun pada hakikatnya mewujudkan sistem
kedudukan-kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Penjumlahan kelas-kelas dalam
masyarakat disebut class-system. Artinya, semua orang dan keluarga sadar
akan keududukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat umum. Dengan
demikian, pengertian kelas pararel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan
apakah dasar lapisan itu faktor uang,
tanah, kekuasaaan, atau dasar lainnya.
Ada pula yang menggunakan istilah
kelas hanya untuk lapisan yang berdasarkan atas unsur ekonomis. Sementara itu,
lapisan yang berdasarkan atas kehormatan dinamakan kelompok kedudukan (status
gruup). Selanjutnya dikatakan bahwa harus diadakan pembedaan yang tegas antara
kelas dan kelompok kedudukan.
Max Weber mengadakan pembedaan
antara dasar ekonomis dengan dasar kedudukan sosial, tetapi tetap mempergunakan
istilah kelas bagi semua lapisan. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya
lagi kedalam sub kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan
kecakapannya. Disamping itu, Max Weber masih menyebutkan adanya golongan yang
mendapatkan kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakan stand.
Joseph Schumpeter mengatakan bawah
kelas-kelas dalam masyarakat terbentuk karena diperlukan untuk menyesuaikan
masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata. Makna kelas dan gejala-gejala
kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui
riwayat terjadinya.
Pada beberapa masyarakat di dunia,
terdapat kelas-kelas yang tegas sekali karena orang-orang dari kelas tersebut
memperoleh sejumlah hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum positif
masyarakat yang bersangkutan. Warga masyarakat semacam itu sering kali
mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan lapisan
dalam masyarakat. Misalnya di Inggris ada istilah-istilah tertentu seperti
commoners bagi orang biasa serta nobility bagi bangsawan. Sebagian besar warga
masyarakat Inggris menyadari bahwa orang-orang nobility berada diatas commoners
(sesuai dengan adat-istiadat).
Contoh lain adalah masyarakat atoni
pah metoh di Timor. Di sana kaum bangsawan disebut usif untuk membedakannya
dengan tog yang merupakan sebutan bagi orang-orang biasa. Maysarakat menyadari
bahwa kedudukan golongan usif ada di
atas tog. Lapisan yang demikian, yaitu yang ditegaskan dengan sistem hak dan
kewajiban tertentu bagi warganya, dinamakan estate. Estate tersebut oleh
masyarakat seolah-olah telah diresmikan bentuknya, berbeda dengan lapisan tak
resmi yang didasarkan pada kekuasaaan, kekayaan, dan selanjutnya. Seseorang
yang kaya misalnya, belum tentu tergolong ke dalam lapisan sosial tertinggi
karena hal itu paling tidak juga tergantung pada gaya dan tingkah laku
hidupnya.
Apabila pengertian kelas ditinjau secara lebih
mendalam, maka akan dapat dijumpai beberapa kriteria yang tradisional, yaitu:
1. Besar jumlah anggota-anggotanya
2. Kebudayaan yang sama, yang
menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warganya
3. Kelanggengan
4. Tanda/lamnbang-lambang yang
merupakan ciri khas
5. Batas-batas yang tegas (bagi
kelompok itu, terhadap kelompok lain)
6. Antagonisme tertentu
Sehubungan dengan kriteria tersebut
diatas, kelas memberikan fasilitas-fasilitas hidup yang tertentu (life-chances)
bagi anggotanya. Misalnya, keselamatan atas hidup dan harta benda, kebebasan,
standar hidup yang tinggi, dan sebagainya, yang dalam arti-arti tertentu tidak
dipunyai oleh para warga kelas-kelas lainnya. Selain itu, kelas juga,
memengaruhi gaya dan tingkah laku hidup masing-masing warganya (life style)
karena kelas-kelas yang ada dalam masyarakat mempunyai perbenaan
dalamkesempatan-kesempatan menjalani jenis pendidikan atau rekreasi tertentu.
Misalnya, ada perbedaan dalamapa yang telah dipelajari warga-warganya,
perilakunya, dan sebagainya. Dalam masyarakat indonesia terutama di kota-kota
besar pernah dikenal pembedaan antara golongan yang pernah mengalami pendidikan
barat (misalnya pendidikan belanda) dengan golongan yang tidak pernah. Di dalam
mendidik anak-anak, golongan-golongan tersebut mengembangkan pola sosialisasi
yang berbeda.
12. Mobilitas
Sosial
Dalam sosiologi mobilitas sosial berarti perpindahan
status dalam stratifikasi sosial. Sebagaimana nampak dari definisi Ransford,
mobilitas sosial dapat mengacu pada individu maupun kelompok. Contoh yang
diberikan Ronsford mengenai mobilitas sosial individu ialah perubahan status
seseorang dari seorang petani menjadi seoarang dokter. Mobilitas sosial suatu
kelompok terjadi manakala suatu minoritas etnik atau kaum perempuan mengalami
monilitas, misalnya mengalami peningkatan dalam penghasilan rata-rata bila
dibandingkan dengan kelompok mayoritas.
Suatu bahan pokok yang banyak mendapat perhatian ahli
sosiologi adalah masalah mobilitas intragenerasi dan mobilitas antargenerasi.
mobilitas intragenerasi mengacu pada mobilitas sosial yang dialami seseorang
dalam masa hidupnya; misalnya dari asisten dosen menjadi guru besar atau dari
perwira pertama menjadi perwira tinggi. Mobilitas anatargenerasi dipihak lain
mengacu kepada perbedaan status yang dicapai seseorang dengan status orang
tuanya; misalnya anak seorang tukang sepatu yang berhasil menjadi insyiur, atau
anak menteri menjadi pedagang kaki lima.
Suatu study yang sering menjadi bahan acuan dalam
bahasan mengenai mobilitas antargenerasi ialah penelitian Blau dan Duncan
terhadap mobilitas pekerjaan di AS. Kedua ilmuan sosial ini menyimpulkan dari
data mereka bahwa masyarakat Amerika merupakan masyarakat yang relatif terbuka
karena didalamnya telah terjadi mobilitas sosial vertikal antargenerasi, dan
dalam mobilitas intragenerasi pengaruh pendidikan dan pekerjaan individu yang
bersangkutan lebih besar dari pada pengaruh pendidikan dan pekerjaan orang tau.
Dengan perkatan lain, dalam tiap generasi telah terjadi peningkatan sattus anak
sehingga melebihi status orang tuanya. Dan dalam tiap generasi pun telah
terjadi peningkatan status anak sehingga melebihi status yang diduduki pada
awal kariernya sendiri.
Pada masyrakat yang mempunyai sistem stratifikasi
terbuka pergantian status dimungkinkan. Meski dalam masyarakat demikian terbuka
kemungkinan bagi setiap anggota masyarakat untuk naik turun dalam herarki
sosial, dalam kenyataan mobilitas sosial antargenerasi maupun intragenerasi
yang terjadi bersifat terbatas.
13. Pendekatan Dalam Stratifikasi
Sosial
Ada tiga pendekatan dalam mempelajari stratifikasi sosial:
1. Metode obyektif
Yaitu suatu
penilaian obyektif terhadap orang lain dengan melihat dari sisi pendapatannya,
lama atau tingginya pendidikan dan jenis pekerjaan.
2. Metode
subyektif
Dalam metode
ini strata sosial dapat dirumuskan menurut pandangan anggota masyarakat yang
menilai dirinya dalam hierarki kedudukan dalam masyarakat.
3. Metode reputasi
Dalam metode
ini golongan sosial dirumuskan menurut bagaimana anggota masyarakat menempatkan
masing-masing dalam stratifikasi masyarakat itu.
Dengan demikian, ada tiga pendekatan
dalam memplajari stratifikasi sosial, yaitu: metode obyektif yang mengarah
kepada secara fisiknya, metode subyektif yang mengarah pada kedudukan dalam
masyarakat sedangkan metode reputasi mengarah kepada penyesuaian seseorang
dalam bermasyarakat.
14. Teori-teori
Stratifikasi Sosial
Ada beberapa
teori yang harus kita pahami dalam memplajari stratifikasi sosial:
1. Teori
Evolusioner-Fungsionalis
Dikemukakan oleh ilmuwan sosial yaitu Talcott parsons. Dia menganggap bahwa
evolusi sosial secara umum terjadi karena sifat kecenderungan masyarakat untuk
berkembang, yang disebutnya sebagai ”kapitalis adaptif”.
2. Teori Surplus
Lenski
Sosiolog Gerhard Lenski mengemukakan bahwa makhluk yang mementingkan diri
sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
3. Teori Kelangkaan
Teori kelangkaan beranggapan bahwa penyebab utama timbul dan semakin
intensnya stratifikasi disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk.
4. Teori Marxian
Menekankan pemilikan kekayaan pribadi sebagi penentu struktur stratifikasi.
5. Teori Weberian
Menekankan pentingnya dimensi stratifikasi tidak berlandaskan dalam
hubungan pemilikan modal.
Dengan
demikian, ada 5 teori yang harus kita ketahui dalam stratifikasi sosial,
diantaranya teori Evolusioner-Fungsionalis yang mengarah kepada kecenderungan
perkembangan masyarakat, teori Surplus Lenski yang mengarah kepada egoisme, teori
Kelangkaan yang mengarah
kepada tekanan jumlah penduduk, teori Marxian mengarah kepada kekayaan seseorang
menentukan stratifikasi sosial, sedangkan teori Weberian yang menagarah kepada stratifikasi
tidak berlandasan kepemilikan.
Comments
Post a Comment